Selasa, 02 Oktober 2012

MAKALAH PENGERTIAN TAFSIR, TA’WIL,DAN TERJAMAH


1.      Pengertian tafsir
Tafsir secara etimologis adalah penjelasan dan mengungkapkan kata tafsir diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang berarti keterangan atau uraian. Pada dasarnya kata tafsir berdasarkan bahasa tidak terlepas dari kandungan makna Al-Quran (menjelaskan) Al-Bayan (menerangkan) Al-kasif (mengungkapkan).
Tafsir secara istilah ilmu yang membahas tentanga cara mengucap lafaz-lafaz Al-Quran, makna-makna yang ditujukan dan hokum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun. Atau tafsir adalah menjelaskan atau menerangkan ayat-ayat Al-Quran yang belum paham maksudnya.
Tafsir Adalah keterangan atas Al-Qur’an yang belum dimengerti maksudnya, penjelasan atas ayat-ayat Al-Quran.
2.      Pengertian ta’wil
Ta’wil menurut bahasa adalah kembali kepada asal diantara firman Allah yang mengemukakan kata ta’wil adalah yang artinya:“untuk mencari fitnah atau mencari-cari ta’wilnya padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah”.(Q.S Ali-Imran)
Adapun menurut ulama terdahulu,takwil artinya tafsir karena itu bila dikatakan tafsir  ta’wil Al-Quran, maka pengertiannya sama Ibn Jabir Al-Tabari mengatakan dalam tafsirnya, suatu pendapat tentang ayat ini yang dimaksud disini adalah ahli tafsir ta’wil dalam istilah mempunyai 2 pengertian yaitu:
1.      Ta’wil
Mena’wilkan kalam (kata-kata) berarti apa yang dikembalikan kepadanya oleh orang yang berbicara atau dita’wilkan oleh kata-kata dan dikembalikan, kata-kata itu dikembalikan dan dipulangkan hanya kepada hakekatknya, yaitu apa yang dimaksud terbagi dua yaitu insyak dan ikbar.


2.      Ta’wil kalam
Yaitu menafsirkan dan menerangkan hatinya apa yang dikemukakan Ibn Jabir At-Thabariy dalam tafsirnya katanya perkataan dalam mena’wilkan firman Tuhan itu, begini-begini.
Ringkasnya, pengertian ta’wil dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari makna lafazh itu. Dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternative kandungan makna yang bukan makna lahiriyahnya, bahkan penggunaan secara masyhur yang kadang-kadang diidentikkan dengan tafsir.
3.      Pengertian tarjamah
Tarjamah berasal dari bahasa arab berarti memindahkan makna lafal kedalam bahasa lain, menurut pengertian istilah “urfi” tarjamah ialah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain.Tarjamahh ialah memindahkan makna kata bahasa pertama kepada kedua.
Sedangkan pengertian tarjamah menurut etimologis menurut Muhammad Abh Al-‘Azhim Zarqoni adalah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Pada dasarnya, ada 3 corak penerjemahan, yaitu:
a.      Tarjamah maknawiyyah tafsiriyyah
Tarjamah maknawiyah tafsiriyah yaitu menerangkan makna atau kalimat dan mensyarahkannya, tidak terikat oleh leterlek-nya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat aslinya.
b.      Tarjamah harfiyyah bi Al-mitsli
Tarjamah harfiyyah  yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan kata sinonimnya (muradif)-nya kedalam bahasa baru da terikat oleh bahasa aslinya.
c.       Tarjamah harfiyyah bi dzuni Al-mitsli
Tarjamah harfiyyah bi dzuni Al-mitsli yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain dengan memerhatikan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa baru itu dan sejauh kemampuan penerjemahnya.
Kata tarjemahan dapat dipergunakan dalam dua arti :
1.      Tarjamah harfiah
Tarjamah harfiah yaitu mengalihkan lafaz-lafaz  dari suatu bahasa kedalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2.      Terjamah tafsiriyah
Tarjamah tafsiriyah atau tarjamah maknawiyah yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib dengan kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimat.
B.      Perbedaan  tafsir, ta’wil, dan tarjamah
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang makna tafsir dan ta’wil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting diantaranya sebagai berikut :
1)   Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini adalah do’a rasulullah untuk Ibnu Abbas, “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.
2)      Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil dari thalab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri, da ta’wil dari khabar esensi sesuatu yang diberitakan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup besar; sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya.sedang ta’wil ialah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Sebagai contoh, jika dikatakan, “matahari telah terbit”, maka ta’wil ucapan ini adalah terbitnya matahari itu sendiri. Inilah pengertian ta’wil yang lazim dalam bahasa Al-Qur’an sebagaimana telah dikemukakan. Allah berfirman :
“Atau (patutkah) mereka mengatakan : Muhammad membuat-buatnya. “katanlah : (Kalau benar yang kamu katakana itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Tetapi sebenarnya mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wil-nya.”(yunus:38-39). Yang dimaksud dengan ta’wil disini adalah terjadinya sesuatu yang diberitakan.
3)      Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas didalam kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih karena maknanya telah jelas da gambling. Sedang ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, “tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhhubungan dengan dirayah”
4)      Dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam menerangkan lafazh da mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat lain.

C.      Klasifikasi Tafsir, Ta’wil, Tarjamah
1.      Klasifikasi Tafsir : bi Al-ma’tsur  dan bi Ar-Ra’yi
a.      Tafsir bi Al-ma’tsur
Sebagaimana dijelaskan Al-Farmawy, tafsir bi Al-ma’tsur (disebut pula bi Ar-riwayah dan An-naql) adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Quran sendiri, penjelasan rasul saw, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in . jadi, bila merujuk pada definisi diatas, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi Al-ma’tsur.
v  Al-Quran yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Qur’an sendiri. Misalnya, penafsiran kata muttaqin pada surat Ali imran (33) : 1 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, ysng menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan seterusnya
v  Otoritas hadis nabi saw yang memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) Al-Quran. Misalnya, penafsiran Nabi terhadap kata “az-zum” pada surat Al-An’am (6) dengan pengertian syirik ; Dan pengertian ungkapan ‘Al-quwwah dengan Ar-ramy (panah) pada firman Allah QS. Al-an’am (60)
v  Otoritas penjelasan sahabat yang di pandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Quran. Misalnya penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan surat An-nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
v  Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat . misalnya penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat (37): 65 dengan sya’ir ‘Imr Al-Qays.
Bila ibn ‘aqli dan syu’bah mempersoalkan otoritas Nabi dan sahabat. Quraisy Shihab mencoba lebih dalam lagi dengan mempersoalkan otoritas Nabi Saw dan sahabat. Menurutnya, penafsiran Nabi dan saw dan sahabat dapat dibagi ke dalam dua kategori:
·         La majal li Al-‘aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika dan perincian dan perincian ibadah. Apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana apa adanya, tanpa ada pengembang karena sifatnya diluar jangkauan akal.
·         Fi majal Al-‘Aql (dalam wilayah nalar) seperti masalah kemasyarakatan. Yang pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana apa adanya, tanpa ada pengembang karena sifatnya diluar jangkauan akal. Adapun yang kedua walaupun harus diakui bahwa penafsiran nabi saw pasti benar, penafsirannya itu harus didudukkan pada proporsinya yang tepat. Walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi pasti benar, penafsirannya itu harus didudukkan pada proporsinya yang tepat, apalagi jika dikaitkan dengan multifungsional Nabi.
Adapun pendapat sahabat, apabila permasalahan yang diungkapkan fi majal Al-aql, ia fi hukm Al-marfu’ dan diterima apa adanya. Bila tidak demikian ia hanya di pertimbangkan dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.
Bertolak dari pendapat shihab diatas, tidak merupakan suatu keharusan untuk menerima produk penafsiran bi Al-matsur bila persoalannya menyangkut fi majal Al-‘aql meskipun penafsiran itu berasal dari Nabi. 
Dalam pertumbuhannya, tafsir bi al-ma’tsur menempuh 3 periode :
Periode I  : yaitu masa nabi saw, sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatannya secara lisan (musyafahah).
Periode II : yaitu bermula dengan pengodifikasian hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar Bin Abdul Azis (95-101). Tafsir bi Al-Ma’tsur  ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadis.
Periode III : yaitu dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang berdiri sendiri.

Diantara kitab yang dipandang menempuh corak bi al-ma’tsur  adalah :
1.      Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, karya ibn jarir Ath-Thabari (w.310/923)
2.      Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi (w.685/1286)
3.      Al-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur, karya Jalal Ad-Din As-Suyuthi (w.911/1505)
4.      Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w.817/1414)
5.      Tafsir Al-Quran Al-Adzim, karya Ibnu Katsir (w.774/1373)
Pengatagorian kitab-kitab tafsir diatas dengan pertimbangan bahwa isinya mengandung tafsir bi Al-matsur secara umum. Ini mengingat sulitnya mencari sebuah kitab yang murni menggunakan corak bi Al-matsur . pada praktiknya kitab-kitab tafsir diatas juga menggunakan corak bi Ar-Ra’yi meskipun tidak begitu dominan . Tafsir Ath-thabari yang di sebut Al-hufi sebagai kitab yang menjauhi corak bi Ar-ra’yi, terutama ketika menyelesaikan periwayatan-periwayatan yang kontradiktif.
Satu-satunya kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang barangkali murni adalah tafsir Ad-Durr  Al-mantsur , karya as Suyuthi. Mengingat merupakan corak tafsir yang merujuk - diantaranya- kepada Al-quran dan Al-hadis, dua sumber kehidupan umat islam, dapat dipastikan tafsir bi Al-ma’tsur memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan corak penafsiran lainnya. Diantara keistimewaan itu, sebagaimana di catat Quraish shihab adalah sbb :
1.      Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
2.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3.      Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus dalam subjektifitas yang berlebihan.
Sementara itu, Adz-dzahabi mencatat kelemahan-kelemahan tafsir bi Al-ma’tsur sebagai berikut.
1.      Terjadi pemalsuan (wadh’)dalam tafsir. Dicatat oleh Adz-Dzahabi bahwa pemalsuan itu terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi perpecahan di kalangan umat islam yang menimbulkan berbagai aliran seperti syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah.
2.      Masuknya unsur israiliyat yang didefinisikan sebagai unsure-unsur yahudi dan nashrani yang masuk kedalam penafsiran Al-Quran.   34
3.      Penghilangan sanad
4.      Terjerumusnya sang mufassir kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-Quran menjadi kabur.
5.      Sering konteks turunnya ayat (asbab  An-Nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian (nasikh-mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun ditengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.
Agenda lain yang perlu diperhatikan dengan baik berkenaan dengan perkembangan tafsir bi Al-ma’tsur pada situasi kekinian adalah pemberian porsi yang memadai bagi penggunaan ta’wil, suatu perangkat penafsiran Al-Qur’an yang universal. Tentu saja, tafsir bi Al ma’tsur pun sudah saatnya mengadopsi disiplin-disiplin keilmuan modern yang berkembang pada saat ini jika hasil penafsirannya diharapkan dapat memecahkan persoala-persoalan yang dihadapi umat islam sekarang.
2.      Tafsir bi ra’yi
Berdasarkan pengertia etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqad), analogi, (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi Ar-ra’yi (disebut juga tafsir bi Al-dirayah) –sebagaimana didefinisikan Husen Adz-Dzahabi---adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu  mengetahui bahasa Arab serta methodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab An-nuzul, nasikh mansukh, dan sebagainya. Adapun Al-farmawi mendefinisikannya sebagai berikut : menafsirkan Al-qur’an dengan ijtihad terlebih dahulu si mufassir pun dibantu oleh Syi’ir jahiliyah, asbab An-nuzul, nasikh mansukh dan lainnya yang dibutuhkan oleh seorang mufassir sebagaimana diutarakan pada penjelasa tentang syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir bi Al-ra’yi muncul sebagai sebuah “corak” penafsiran belakangan setelah tafsir bi Al-ma’tsur muncul walaupun sebelum itu ra’yu dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur’an. Apalagi kalau kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Diantara sebab yang memicu kemunculan “corak” tafsir bi Al-ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat di warnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Diantara mereka, ada yang lebih menekankan pada telaah balaghah seperti Az-Zamakhsyari, atau telaah hokum-hukum syara’ seperti Abi As-Su’ud, atau telaah qiraat seperti An-Naisaburi dan An-Nasafi, atau telaah mazhab-mazhab kalam dan filsafat seperti Ar-Razi, atau telaah-telaah yang lainnya. Hal ini tampaknya dapat dipahami sebab disamping sebagai seorang mufassir , seseorang bias sajajuga ahli dalam bidang fiqh, bahasa, filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam. Dengan demikian, tatkala ada ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka keluarkan sebuah pengetahuan tentangnya, sampai-sampai terkadang mereka lupa akan inti dari ayat yang bersangkutan.
Kemunculan tafsir bi Ar-Ra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi umat islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, didalam tafsir bi Ar-Ra’yi akan ditemukan peranan akal sangat dominan. Dari sana muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana yang kita lihat saat ini.
Mengenai keabsahan tafsir bi Ar-Ra’yi, para ulama terbagi kedalam 2 kelompok
1.      Kelompok yang melarangnya. Ulama yang menolak penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan argument-argumen berikut ini :
a.      Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata.
Allah berfirman dalam surat Al isra’ ayat 36 yang artinya : “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya”.
b.      Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 44 yang artinya : “Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka da supaya mereka memikirkan”.
c.       Rasulullah bersabda yang artinya : “siapa saja menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat dineraka 1
d.      Sudah merupakan tradisi dikalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an. Misalnya Abu Bakar pernah berkata ketika ditanya tentang penafsiran Al-Qur’an : “langit mana yang akan melindungiku; bumi mana yang memberiku tempat berpijak, kemana aku hendak pergi ;dan apa yang hendak aku lakukan, jika aku menjelaskan Al-Qur’an dengan sesuatu yang tidak di kehendaki Allah”.
2.      Kelompok yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut.
a.      Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan Al-Qur’an. Misalnya firman Allah dalam surat Muhammad ayat 24 yang artinya : “Maka apakah mereka tidak memerhati Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.
Surat An-Nisa ayat 83 yang artinya : “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (rasul da ulil amri)”.
Ayat yang pertama, kata mereka, jelas menyuruh kita untuk merenungkan dan memikirkan Al-Qur’an. Ayat kedua menjelaskan bahwa didalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat   yang maksudnya dapat di tangkap oleh hasil ijtihad orang-orang pandai.
b.      Seandainya tafsir Bi Ar-Ra’yi dilarang, mengapa ijtihad dibolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
c.       Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yinya. Seandainya tafsir Bi Ar-Ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
d.      Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibn ‘Abbas. Yang artinya :
“Ya Allah berilah pemahaman agama kepada Ibn ‘Abbas dan ajarilah ia ta’wil”.
Selanjutnya para ulama membagi “corak” tafsir Bi Ar-Ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah) dan ada pula yang ditolak/tercela (mardud/madzmum). Tafsir Bi Ar-Ra’yi dapat diterima selama menghindari hal-hal berikut :
1.      Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.      Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata)
3.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istishan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.      Menafsirkannya ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
5.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian… tanpa didukung dalil.
Selama mufassir bi ar-ra’yi menghindari kelima hal diatas dengan disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika tidak demikian, berarti ia menyimpang dari cara yang dibenarkan, sehingga penafsirannya tidak dapat diterima.
Diantara contoh tafsir bi ar-ra’yi yang tidak dapat diterima adalah :
1.      Penafsiran golongan syi’ah terhadap kata “Al-Baqarah” (Q.s. Al-Baqarah :67) dengan ‘Aisyah r.a
2.      Penafsiran sebagian mufassir terhadap surat Al-Baqarah ayat 74 yang artinya : “padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah,”
Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara, dan jatuh karena takut Allah.
3.      Penafsiran sebagian mufassir terhadap surat An-Nahl ayat 68 yang artinya :
“dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia”
Mereka berpendapat bahwa diantara lebah-lebah itu, ada yang diangkat sebagai nabi-nabi yang di beri wahyu oleh Allah, dan mereka mengemukakan cerita-cerita yang bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lain jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah yang dengannya ia membuat sarang-sarang dan madu.
4.      Penafsiran sebagian orang terhadap surat Ar-Rahman ayat 33 yang artinya :
“hai jama’ah jin da manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”.
Mereka menduga bahwa ayat diatas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuwan mendarat di bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian.
5.      Penafsiran sebagian orang terhadap surat Al-Humazah ayat 6-7 yang artinya :
“(yaitu) api (yang) disediakan Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati”.
Mereka berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan pada abad ke XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka menyeret ayat diatas pada makna yang tidak dimungkinkan jika dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Diantara karya tafsir bi ar-ra’yi yang dapat di percaya adalah :
1.      Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr A-Razi (w. 606 H.)
2.      Anwar At-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, karya Al-Baidhawi (w.691 H.)
3.      Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq At-Ta’wil, karya An-Nasafi (w. 701 H.)
4.      Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil, karya Al-Khazin (w. 741 H.)