1.
Pengertian tafsir
Tafsir secara etimologis adalah penjelasan dan mengungkapkan
kata tafsir diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang berarti
keterangan atau uraian. Pada dasarnya kata tafsir berdasarkan bahasa tidak
terlepas dari kandungan makna Al-Quran (menjelaskan) Al-Bayan (menerangkan)
Al-kasif (mengungkapkan).
Tafsir secara istilah ilmu yang membahas tentanga cara
mengucap lafaz-lafaz Al-Quran, makna-makna yang ditujukan dan hokum-hukumnya,
baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang
dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun. Atau tafsir adalah menjelaskan
atau menerangkan ayat-ayat Al-Quran yang belum paham maksudnya.
Tafsir Adalah keterangan atas Al-Qur’an yang belum
dimengerti maksudnya, penjelasan atas ayat-ayat Al-Quran.
2.
Pengertian ta’wil
Ta’wil menurut bahasa adalah kembali kepada asal diantara
firman Allah yang mengemukakan kata ta’wil adalah yang artinya:“untuk mencari
fitnah atau mencari-cari ta’wilnya padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
kecuali Allah”.(Q.S Ali-Imran)
Adapun menurut ulama terdahulu,takwil artinya tafsir karena
itu bila dikatakan tafsir ta’wil Al-Quran, maka pengertiannya sama Ibn
Jabir Al-Tabari mengatakan dalam tafsirnya, suatu pendapat tentang ayat ini
yang dimaksud disini adalah ahli tafsir ta’wil dalam istilah mempunyai 2
pengertian yaitu:
1.
Ta’wil
Mena’wilkan kalam (kata-kata) berarti apa yang dikembalikan
kepadanya oleh orang yang berbicara atau dita’wilkan oleh kata-kata dan
dikembalikan, kata-kata itu dikembalikan dan dipulangkan hanya kepada
hakekatknya, yaitu apa yang dimaksud terbagi dua yaitu insyak dan ikbar.
2.
Ta’wil kalam
Yaitu menafsirkan dan menerangkan hatinya apa yang
dikemukakan Ibn Jabir At-Thabariy dalam tafsirnya katanya perkataan dalam
mena’wilkan firman Tuhan itu, begini-begini.
Ringkasnya, pengertian ta’wil dalam penggunaan istilah
adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui
pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari makna lafazh itu.
Dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternative
kandungan makna yang bukan makna lahiriyahnya, bahkan penggunaan secara masyhur
yang kadang-kadang diidentikkan dengan tafsir.
3.
Pengertian tarjamah
Tarjamah berasal dari bahasa arab berarti memindahkan makna
lafal kedalam bahasa lain, menurut pengertian istilah “urfi” tarjamah ialah
memindahkan pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain.Tarjamahh ialah
memindahkan makna kata bahasa pertama kepada kedua.
Sedangkan pengertian tarjamah menurut etimologis menurut
Muhammad Abh Al-‘Azhim Zarqoni adalah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan)
yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan
menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), lengkap dengan semua
makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Pada
dasarnya, ada 3 corak penerjemahan, yaitu:
a.
Tarjamah maknawiyyah tafsiriyyah
Tarjamah maknawiyah tafsiriyah yaitu menerangkan makna atau
kalimat dan mensyarahkannya, tidak terikat oleh leterlek-nya, melainkan oleh
makna dan tujuan kalimat aslinya.
b.
Tarjamah harfiyyah bi Al-mitsli
Tarjamah harfiyyah yaitu menyalin atau mengganti
kata-kata dari bahasa asli dengan kata sinonimnya (muradif)-nya kedalam bahasa
baru da terikat oleh bahasa aslinya.
c.
Tarjamah harfiyyah bi dzuni
Al-mitsli
Tarjamah harfiyyah bi dzuni Al-mitsli yaitu menyalin atau
mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain dengan memerhatikan urutan
makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa baru itu dan sejauh
kemampuan penerjemahnya.
Kata
tarjemahan dapat dipergunakan dalam dua arti :
1.
Tarjamah harfiah
Tarjamah harfiah yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari
suatu bahasa kedalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa
sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib
bahasa pertama.
2.
Terjamah tafsiriyah
Tarjamah tafsiriyah atau tarjamah maknawiyah yaitu
menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib
dengan kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimat.
B.
Perbedaan tafsir, ta’wil, dan
tarjamah
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua
kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang makna tafsir dan
ta’wil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting diantaranya sebagai berikut
:
1)
Apabila kita berpendapat, ta’wil
adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka ta’wil dan tafsir
adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini
adalah do’a rasulullah untuk Ibnu Abbas, “Ya Allah, berikanlah kepadanya
kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.
2)
Apabila kita berpendapat, ta’wil
adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil dari thalab
(tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri, da ta’wil dari
khabar esensi sesuatu yang diberitakan. Atas dasar ini maka perbedaan antara
tafsir dengan ta’wil cukup besar; sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan
bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara
memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya.sedang ta’wil
ialah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Sebagai
contoh, jika dikatakan, “matahari telah terbit”, maka ta’wil ucapan ini adalah
terbitnya matahari itu sendiri. Inilah pengertian ta’wil yang lazim dalam
bahasa Al-Qur’an sebagaimana telah dikemukakan. Allah berfirman :
“Atau
(patutkah) mereka mengatakan : Muhammad membuat-buatnya. “katanlah : (Kalau
benar yang kamu katakana itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya
dan panggillah siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar. Tetapi sebenarnya mereka mendustakan apa yang
mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka
ta’wil-nya.”(yunus:38-39). Yang dimaksud dengan ta’wil disini adalah terjadinya
sesuatu yang diberitakan.
3)
Dikatakan, tafsir adalah apa yang
telah jelas didalam kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih
karena maknanya telah jelas da gambling. Sedang ta’wil adalah apa yang
disimpulkan para ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, “tafsir adalah
apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhhubungan
dengan dirayah”
4)
Dikatakan pula, tafsir lebih banyak
dipergunakan dalam menerangkan lafazh da mufradat (kosa kata), sedang ta’wil
lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat. Dan masih
banyak lagi pendapat-pendapat lain.
C.
Klasifikasi Tafsir, Ta’wil, Tarjamah
1.
Klasifikasi Tafsir : bi
Al-ma’tsur dan bi Ar-Ra’yi
a.
Tafsir bi Al-ma’tsur
Sebagaimana
dijelaskan Al-Farmawy, tafsir bi Al-ma’tsur (disebut pula bi Ar-riwayah dan
An-naql) adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Quran
sendiri, penjelasan rasul saw, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan
aqwal tabi’in . jadi, bila merujuk pada definisi diatas, ada empat otoritas
yang menjadi sumber penafsiran bi Al-ma’tsur.
v Al-Quran
yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Qur’an sendiri. Misalnya,
penafsiran kata muttaqin pada surat Ali imran (33) : 1 dengan menggunakan
kandungan ayat berikutnya, ysng menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah
menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan seterusnya
v Otoritas
hadis nabi saw yang memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) Al-Quran.
Misalnya, penafsiran Nabi terhadap kata “az-zum” pada surat Al-An’am (6) dengan
pengertian syirik ; Dan pengertian ungkapan ‘Al-quwwah dengan Ar-ramy (panah)
pada firman Allah QS. Al-an’am (60)
v Otoritas
penjelasan sahabat yang di pandang sebagai orang yang banyak mengetahui
Al-Quran. Misalnya penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan surat
An-nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
v Otoritas
penjelasan tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat .
misalnya penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat (37): 65 dengan sya’ir
‘Imr Al-Qays.
Bila
ibn ‘aqli dan syu’bah mempersoalkan otoritas Nabi dan sahabat. Quraisy Shihab
mencoba lebih dalam lagi dengan mempersoalkan otoritas Nabi Saw dan sahabat.
Menurutnya, penafsiran Nabi dan saw dan sahabat dapat dibagi ke dalam dua
kategori:
· La majal li Al-‘aql fihi (masalah
yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika dan
perincian dan perincian ibadah. Apabila nilai riwayatnya shahih, diterima
sebagaimana apa adanya, tanpa ada pengembang karena sifatnya diluar jangkauan
akal.
· Fi majal Al-‘Aql (dalam wilayah
nalar) seperti masalah kemasyarakatan. Yang pertama, apabila nilai riwayatnya
shahih, diterima sebagaimana apa adanya, tanpa ada pengembang karena sifatnya
diluar jangkauan akal. Adapun yang kedua walaupun harus diakui bahwa penafsiran
nabi saw pasti benar, penafsirannya itu harus didudukkan pada proporsinya yang
tepat. Walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi pasti benar, penafsirannya
itu harus didudukkan pada proporsinya yang tepat, apalagi jika dikaitkan dengan
multifungsional Nabi.
Adapun
pendapat sahabat, apabila permasalahan yang diungkapkan fi majal Al-aql, ia fi
hukm Al-marfu’ dan diterima apa adanya. Bila tidak demikian ia hanya di
pertimbangkan dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.
Bertolak
dari pendapat shihab diatas, tidak merupakan suatu keharusan untuk menerima
produk penafsiran bi Al-matsur bila persoalannya menyangkut fi majal Al-‘aql
meskipun penafsiran itu berasal dari Nabi.
Dalam
pertumbuhannya, tafsir bi al-ma’tsur menempuh 3 periode :
Periode
I : yaitu masa nabi saw, sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika
tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatannya secara lisan (musyafahah).
Periode
II : yaitu bermula dengan pengodifikasian hadis secara resmi pada masa
pemerintahan Umar Bin Abdul Azis (95-101). Tafsir bi Al-Ma’tsur ketika
itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis dan dihimpun dalam salah satu
bab-bab hadis.
Periode
III : yaitu dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang berdiri
sendiri.
Diantara
kitab yang dipandang menempuh corak bi al-ma’tsur adalah :
1.
Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran,
karya ibn jarir Ath-Thabari (w.310/923)
2.
Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi
(w.685/1286)
3.
Al-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi
Al-Ma’tsur, karya Jalal Ad-Din As-Suyuthi (w.911/1505)
4.
Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas
karya Fairuz Zabadi (w.817/1414)
5.
Tafsir Al-Quran Al-Adzim, karya Ibnu
Katsir (w.774/1373)
Pengatagorian kitab-kitab tafsir diatas dengan pertimbangan
bahwa isinya mengandung tafsir bi Al-matsur secara umum. Ini mengingat sulitnya
mencari sebuah kitab yang murni menggunakan corak bi Al-matsur . pada
praktiknya kitab-kitab tafsir diatas juga menggunakan corak bi Ar-Ra’yi
meskipun tidak begitu dominan . Tafsir Ath-thabari yang di sebut Al-hufi sebagai
kitab yang menjauhi corak bi Ar-ra’yi, terutama ketika menyelesaikan
periwayatan-periwayatan yang kontradiktif.
Satu-satunya kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang barangkali
murni adalah tafsir Ad-Durr Al-mantsur , karya as Suyuthi. Mengingat
merupakan corak tafsir yang merujuk - diantaranya- kepada Al-quran dan
Al-hadis, dua sumber kehidupan umat islam, dapat dipastikan tafsir bi
Al-ma’tsur memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan corak penafsiran
lainnya. Diantara keistimewaan itu, sebagaimana di catat Quraish shihab adalah
sbb :
1.
Menekankan pentingnya bahasa dalam
memahami Al-Quran.
2.
Memaparkan ketelitian redaksi ayat
ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3.
Mengikat mufassir dalam bingkai
ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus dalam subjektifitas yang
berlebihan.
Sementara
itu, Adz-dzahabi mencatat kelemahan-kelemahan tafsir bi Al-ma’tsur sebagai
berikut.
1.
Terjadi pemalsuan (wadh’)dalam
tafsir. Dicatat oleh Adz-Dzahabi bahwa pemalsuan itu terjadi pada tahun-tahun
ketika terjadi perpecahan di kalangan umat islam yang menimbulkan berbagai
aliran seperti syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah.
2.
Masuknya unsur israiliyat yang
didefinisikan sebagai unsure-unsur yahudi dan nashrani yang masuk kedalam
penafsiran Al-Quran. 34
3.
Penghilangan sanad
4.
Terjerumusnya sang mufassir kedalam
uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok
Al-Quran menjadi kabur.
5.
Sering konteks turunnya ayat
(asbab An-Nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang
dipahami dari uraian (nasikh-mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama
sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun ditengah-tengah masyarakat
yang hampa budaya.
Agenda lain yang perlu diperhatikan dengan baik berkenaan
dengan perkembangan tafsir bi Al-ma’tsur pada situasi kekinian adalah pemberian
porsi yang memadai bagi penggunaan ta’wil, suatu perangkat penafsiran Al-Qur’an
yang universal. Tentu saja, tafsir bi Al ma’tsur pun sudah saatnya mengadopsi
disiplin-disiplin keilmuan modern yang berkembang pada saat ini jika hasil
penafsirannya diharapkan dapat memecahkan persoala-persoalan yang dihadapi umat
islam sekarang.
2.
Tafsir bi ra’yi
Berdasarkan pengertia etimologi, ra’yi berarti keyakinan
(I’tiqad), analogi, (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir
adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi Ar-ra’yi (disebut juga tafsir bi Al-dirayah)
–sebagaimana didefinisikan Husen Adz-Dzahabi---adalah tafsir yang penjelasannya
diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih
dahulu mengetahui bahasa Arab serta methodenya, dalil hukum yang
ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab An-nuzul, nasikh mansukh,
dan sebagainya. Adapun Al-farmawi mendefinisikannya sebagai berikut :
menafsirkan Al-qur’an dengan ijtihad terlebih dahulu si mufassir pun dibantu
oleh Syi’ir jahiliyah, asbab An-nuzul, nasikh mansukh dan lainnya yang
dibutuhkan oleh seorang mufassir sebagaimana diutarakan pada penjelasa tentang
syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir
bi Al-ra’yi muncul sebagai sebuah “corak” penafsiran belakangan setelah tafsir
bi Al-ma’tsur muncul walaupun sebelum itu ra’yu dalam pengertian akal sudah
digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur’an. Apalagi kalau kita tilik
bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Diantara sebab yang memicu kemunculan “corak” tafsir bi
Al-ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan
kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode
penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Akibatnya, karya tafsir
seorang mufassir sangat di warnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang
dikuasainya. Diantara mereka, ada yang lebih menekankan pada telaah balaghah
seperti Az-Zamakhsyari, atau telaah hokum-hukum syara’ seperti Abi As-Su’ud,
atau telaah qiraat seperti An-Naisaburi dan An-Nasafi, atau telaah
mazhab-mazhab kalam dan filsafat seperti Ar-Razi, atau telaah-telaah yang
lainnya. Hal ini tampaknya dapat dipahami sebab disamping sebagai seorang
mufassir , seseorang bias sajajuga ahli dalam bidang fiqh, bahasa, filsafat,
astronomi, kedokteran, atau kalam. Dengan demikian, tatkala ada ayat Al-Qur’an
yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka keluarkan sebuah
pengetahuan tentangnya, sampai-sampai terkadang mereka lupa akan inti dari ayat
yang bersangkutan.
Kemunculan tafsir bi Ar-Ra’yi dipicu pula oleh hasil
interaksi umat islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh
karena itu, didalam tafsir bi Ar-Ra’yi akan ditemukan peranan akal sangat
dominan. Dari sana muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana
yang kita lihat saat ini.
Mengenai
keabsahan tafsir bi Ar-Ra’yi, para ulama terbagi kedalam 2 kelompok
1.
Kelompok yang melarangnya. Ulama
yang menolak penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan argument-argumen
berikut ini :
a.
Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi
berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil
penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata.
Allah
berfirman dalam surat Al isra’ ayat 36 yang artinya : “dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggungjawabannya”.
b.
Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an
hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 44 yang
artinya : “Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka da supaya mereka
memikirkan”.
c.
Rasulullah bersabda yang artinya :
“siapa saja menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar
sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat dineraka 1
d.
Sudah merupakan tradisi dikalangan
sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran
Al-Qur’an. Misalnya Abu Bakar pernah berkata ketika ditanya tentang penafsiran
Al-Qur’an : “langit mana yang akan melindungiku; bumi mana yang memberiku
tempat berpijak, kemana aku hendak pergi ;dan apa yang hendak aku lakukan, jika
aku menjelaskan Al-Qur’an dengan sesuatu yang tidak di kehendaki Allah”.
2.
Kelompok yang mengizinkannya. Mereka
mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut.
a.
Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan
ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan Al-Qur’an.
Misalnya firman Allah dalam surat Muhammad ayat 24 yang artinya : “Maka apakah
mereka tidak memerhati Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.
Surat
An-Nisa ayat 83 yang artinya : “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul
dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (rasul da ulil amri)”.
Ayat
yang pertama, kata mereka, jelas menyuruh kita untuk merenungkan dan memikirkan
Al-Qur’an. Ayat kedua menjelaskan bahwa didalam Al-Qur’an terdapat beberapa
ayat yang maksudnya dapat di tangkap oleh hasil ijtihad orang-orang
pandai.
b.
Seandainya tafsir Bi Ar-Ra’yi
dilarang, mengapa ijtihad dibolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap
ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap
ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
c.
Para sahabat sudah biasa berselisih
pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun
menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yinya. Seandainya tafsir Bi Ar-Ra’yi dilarang,
tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
d.
Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibn
‘Abbas. Yang artinya :
“Ya
Allah berilah pemahaman agama kepada Ibn ‘Abbas dan ajarilah ia ta’wil”.
Selanjutnya para ulama membagi “corak” tafsir Bi Ar-Ra’yi
yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah) dan ada pula yang ditolak/tercela
(mardud/madzmum). Tafsir Bi Ar-Ra’yi dapat diterima selama menghindari hal-hal
berikut :
1.
Memaksakan diri mengetahui makna
yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat
untuk itu.
2.
Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang
maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata)
3.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan
disertai hawa nafsu dan sikap istishan (menilai bahwa sesuatu itu baik
semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.
Menafsirkannya ayat-ayat untuk
mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai
dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
5.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan
memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian… tanpa didukung
dalil.
Selama mufassir bi ar-ra’yi menghindari kelima hal diatas
dengan disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat
diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika tidak demikian, berarti
ia menyimpang dari cara yang dibenarkan, sehingga penafsirannya tidak dapat
diterima.
Diantara
contoh tafsir bi ar-ra’yi yang tidak dapat diterima adalah :
1.
Penafsiran golongan syi’ah terhadap
kata “Al-Baqarah” (Q.s. Al-Baqarah :67) dengan ‘Aisyah r.a
2.
Penafsiran sebagian mufassir
terhadap surat Al-Baqarah ayat 74 yang artinya : “padahal diantara batu-batu
itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan diantaranya sungguh
ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan diantaranya sungguh
ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah,”
Mereka
menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara, dan jatuh karena takut Allah.
3.
Penafsiran sebagian mufassir
terhadap surat An-Nahl ayat 68 yang artinya :
“dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘buatlah sarang-sarang dibukit-bukit,
dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia”
Mereka
berpendapat bahwa diantara lebah-lebah itu, ada yang diangkat sebagai nabi-nabi
yang di beri wahyu oleh Allah, dan mereka mengemukakan cerita-cerita yang
bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu, sebagian yang lain berpendapat
bahwa ada tetesan lain jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh
lebah yang dengannya ia membuat sarang-sarang dan madu.
4.
Penafsiran sebagian orang terhadap
surat Ar-Rahman ayat 33 yang artinya :
“hai
jama’ah jin da manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit
dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan
kekuatan”.
Mereka
menduga bahwa ayat diatas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuwan mendarat di
bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya
tidak memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian.
5.
Penafsiran sebagian orang terhadap
surat Al-Humazah ayat 6-7 yang artinya :
“(yaitu)
api (yang) disediakan Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati”.
Mereka
berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil
ditemukan pada abad ke XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia.
Mereka menyeret ayat diatas pada makna yang tidak dimungkinkan jika dihubungkan
dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Diantara
karya tafsir bi ar-ra’yi yang dapat di percaya adalah :
1.
Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr A-Razi
(w. 606 H.)
2.
Anwar At-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil,
karya Al-Baidhawi (w.691 H.)
3.
Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq
At-Ta’wil, karya An-Nasafi (w. 701 H.)
4.
Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil,
karya Al-Khazin (w. 741 H.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar